Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Bahan Ujian Praktek Biologi kelas 9

Alat-Alat di Laboratorium Biologi dan Fungsinya

1. Kaca Pembesar (Lup)
Untuk mengamati benda-benda yang berukuran kecil sehingga tampak lebih jelas.















2. Penjepit Tabung Reaksi
Untuk memegang tabung reaksi yang dipanasi.











3. Tabung Reaksi
Sebagai tempat untuk mencampur dan atau memanaskan zat-zat dalam jumlah kecil.



4. Cawan Petri
Biasanya digunakan sebagai tempat untuk menumbuhkan bakteri, jamur, dan biji-bijian.



5. Pipet Tetes
Memindahkan beberapa tetes zat cair.














6. Gelas Kimia dan Labu Erlenmeyer
Sebagai wadah untuk memanaskan dan mencampur atau mereaksikan zat (dalam bentuk cairan) dalam jumlah yang besar. Gelas kimia dan labu Erlenmeyer terbuat dari kaca tahan panas.










      Labu Erlenmeyer



      Gelas Kimia

7. Mortar (lumpang dan alu)
Untuk menghaluskan bahan yang akan digunakan dalam percobaan.


8. Kaki Tiga, Kasa Baja, dan Pembakar Spiritus
Untuk memanaskan cairan yang berada di gelas kimia.


                                   Kasa Baja



             Kaki Tiga

 
       Pembakar Spiritus

9. Respirometer
Untuk mengukur kecepatan pernapasan serangga atau kecambah tumbuhan.



10. Higrometer
Untuk mengukur kelembapan udara.


11. Gelas Ukur
Untuk mengukur volume cairan.


12. Stetoskop
Untuk mengukur kecepatan detak jantung.



13. Tabung Ukur
Untuk mengukur volume benda lebih teliti.



14. Tensimeter
Untuk mengukur tekanan darah.



Bagian-Bagian Mikroskop dan Fungsinya



1. Kaki mikroskop
Untuk menjaga mikroskop agar dapat berdiri dengan mantap di atas meja yang datar.

2. Lengan Mikroskop
Untuk memegang mikroskop ketika dibawa

3. Reflektor
Terdiri atas cermin datar dan cermin cekung yang berfungsi memantulkan cahaya ke dalam diafragma dan lubang yang terdapat pada meja benda.
Cermin datar digunakan jika sumber cahaya terang, sedangkan cermin cekung digunakan jika cahaya kurang terang.

4. Meja Benda (Meja Objek)
Berfungsi untuk meletakkan benda yang akan diamati. Benda yang diamati juga disebut preparat, sediaan, atau spesimen.

5. Penjepit Objek
Untuk menekan gelas preparat sehingga tidak mudah bergerak.

6. Diafragma
Untuk mengatur cahaya yang diperlukan dalam pengamatan.

7. Revolver
Merupakan tempat meletakkan lensa objektif; untuk memilih lensa objektif cukup memutar revolver sampai berbunyi klik.

8. Lensa Objektif
Merupakan lensa yang dekat dengan objek dan berfungsi memperbesar benda yang diamati dengan pembesaran berbeda, misalnya 4x, 10x, dan 40x.

9. Lensa Okuler
Merupakan lensa yang dekat dengan mata kita atau pengamat dan berfungsi memperbesar benda yang diamati dengan perbesaran yang berbeda, misalnya 5x, 10x, dan 12,5x. Perbesaran total mikroskop didapat dari hasil perkalian perbesaran lensa okuler dengan perbesaran lensa objektif. Misalnya, perbesaran lensa okuler 10x dan perbesaran lensa objektif 40x, maka benda yang diperbesar total adalah 10 x 40 = 400x dari semula.

10. Tabung Mikroskop (Tubus)
Untuk mengatur fokus yang menghubungkan lensa okuler dengan lensa objektif.

11. Tombol Pengatur Fokus/Sekrup Pengarah
Untuk menaikkan dan menurunkan tubus dengan dua buah pemutar, yaitu pemutar kasar (makrometer) dan pemutar halus (mikrometer). Makrometer berfungsi untuk menaik turunkan tabung mikroskop secara cepat.
Mikrometer berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan mikroskop secara lambat, dan bentuknya lebih kecil daripada makrometer.

12. Kondensor
berfungsi untuk mengumpulkan cahaya yang masuk. Alat ini dapat putar dan di naik turunkan.

13. Sendi Inklinasi / Pengatur Sudut
Untuk mengatur sudut atau tegaknya mikroskop.

Uji Makanan

1. Lugol: untuk menguji karbohidrat.
Larutan yang mengandung amilum akan berubah warnanya menjadi biru kehitaman.

2. Benedict / Fehling A + Fehling B: untuk menguji glukosa.
Larutan yang mengandung glukosa (setelah dipanaskan) akan berubah warnanya menjadi merah bata.

3. Biuret: untuk menguji protein.
Larutan yang mengandung protein akan berubah warnanya menjadi ungu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dampak Baik dan Buruk Games Bagi Anak Sekolah

Teknologi semakin maju dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Semua kemajuan teknologi itu dimaksudkan untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun, tentu saja semua itu menimbulkan dampak positif dan negatif. Sama halnya dengan game-game di Internet. Ada dampak baik dan dampak buruk yang secara langsung maupun tidak langsung, dan yang terlihat maupun tidak terlihat.

Dampak baik bermain game bagi anak sekolah zaman sekarang adalah sebagai hiburan untuk melepaskan penat saat belajar di sekolah, mengurangi depresi akibat masalah-masalah yang telah mereka hadapi, memotivasi anak-anak untuk membuat game yang lebih bermutu daripada yang biasa dimainkan mereka.

Belajar memang membuat anak-anak penat, dan masalh-masalah bisa menekan anak-anak dan membuat mereka menjadi stress. Maka dari itu, mereka membutuhkan hiburan.

Dampak buruk bermain game bagi anak sekolah zaman sekarang adalah mengurangi kebersamaan dengan teman-teman di sekitar, mengurangi kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, menimbulkan keegoisan, menimbulkan rasa malas sehingga tidak bisa mengatur waktu untuk belajar, serta mengakibatkan penyakit secara tidak langsung.

Zaman dulu, anak-anak memainkan permainan-permainan tradisional bersama, seperti main dakon, petak umpet, dan masih banyak lagi. Namun kini permainan-permainan seperti itu sudah jarang dimainkan, bahkan jarang dikenal dan didengar. Itu karena permainan tradisional telah tergantikan oleh permainan modern yang lebih praktis dan cenderung individualistis. Hal itu menyebabkan berkurangnya kebersamaan dan rasa kekeluargaan dengan teman-teman.
Kadang-kadang anak-anak saking asyiknya bermain, mereka sampai lupa akan kebutuhan jasmani dan rohani mereka, seperti tidak makan dan tidak minum karena kecanduan games, mengurangi waktu beribadah hanya demi permainan-permainan seperti itu, sehingga secara tidak langsung menjauhkan diri dari Tuhan. Selain itu, beberapa game mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Bila anak mudah terpengaruh, maka kemungkinan mereka akan menerapkan apa yang telah mereka pelajari dari game seperti itu. Itu juga memengaruhi kedekatan mereka dengan Tuhan.
Mereka juga secara sadar atau tidak sadar mengurangi kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar bukan hanya tempat di sekitar mereka, tetapi juga dengan sesama yang ada di sekitar mereka. Contohnya, saking asyiknya mereka bermain game, mereka mungkin tidak mengacuhkan perintah-perintah dari orang tua mereka. Ini juga mengurangi kedekatan dengan keluarga.
Banyak dari mereka yang lebih memilih bermain ketimbang belajar. Hal ini bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia. Mungkin kebanyakan dari anak-anak pecandu game seperti itu nantinya hanya akan menjadi pengangguran, kecuali bila mereka memandang positif game tersebut dan masih memiliki kesadaran diri untuk belajar. Hal ini juga dapat menyebabkan suatu negara kurang bisa berkembang menjadi negara maju karena kurangnya keasadaran masyarakat.


Game di komputer memaksa anak-anak untuk cenderung selalu duduk. Hal ini bisa menyebabkan penyakit karena anak-anak menjadi kurang berolahraga dan cenderung lebih mudah sakit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Love Comes and Goes, but Friendship Stays

Tidak cuma Indonesia aja loh yang mengutip semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dari kitab Suthasoma karangan Mpu Tantular, grup “Delapan” juga mengikuti ideologi yang sama.
            Mengapa namanya “Delapan”? Karena namanya diadopsi dari nama mereka. “De” diambil dari FreDEricka, “La” diambil dari LeonArdine, “Pa” dari PAuline Kirenie, dan “N” dari JeaNine.
            Fredericka yang jago basket hingga beberapa kali menyabet trofi dan medali emas dari berbagai perlombaan walau masih tingkat RT, amat tomboy. Rambut cepak, kaos oblong, celana bolong (ya iyalah celana bolong), sandal jepit, dan bola pasti setia menemani hari-harinya. Tapi, Erika, begitu panggilannya, ga pernah sekalipun pacaran, atau hanya sekedar kencan. Kasian juga ya, hahaha.
            Beda sama Leonardine, yang smart banget. Trofi dan medali emas yang ia dapatkan dari Matematika, biologi, kimia, fisika, komputer, astronomi, antropologi, geografi, ekonomi, kewarganegaraan, bahasa inggris, bahasa indonesia, sampai agama ia rampok dari berbagai perlombaan, kejuaraan, bahkan olimpiade. Nadine, begitu panggilannya, begitu encer otaknya. Buku segunung, perpustakaan, pena, kalkulator, kamus, ensiklopedi, dan penampilan yang rapi merupakan karakteristik dan kekhasannya yang hakiki.
            Namun lain lagi sama Kirenie yang dipanggil Pauline oleh orang tua beserta keluarganya di rumah, nama itu dari nama panjangnya, Pauline Kirenie Belvina, tapi grupnya tetap memanggilnya Kirenie. Tapi, walau begitu, grupnya tetap menghormati kesukaan keluarganya itu dalam memanggil Kirenie dan memasukkan “PA” dari Pauline ke dalam nama kelompok mereka. Cewek yang satu ini feminim banget-bangetan, mungkin karena kelebihan hormon estrogen kali ya. Tapi saking feminimnya, sampai-sampai ia kecentilan. Pacaran sudah tak terhitung kali deh pokoknya. Gayanya yang hampir menyamai supermodel kelas dunia, rok mini, rambut rebonding, make up tebal, dan keganjenannya merupakan pandangan yang tidak asing jika melihatnya.
            Dan satu lagi yang unik. Jeanine, begitu nama anak konglomerat yang jauh dari melarat ini. Mobil mewah sekelas BMW setiap hari siap siaga mengantar-jemputnya bersama supir dan 2 pembantunya. Barang-barang bawaannya dibawain sama asistennya. Dan kemana-mana dikawal sama bodyguard. Laptop, handphone, mp4, dan benda-benda lainnya selalu model terkini, ga pernah jadul. Pokoknya tajir pol-polan!
            Walau berbeda-beda, kami tetap satu juga kok. Kemana-mana bareng. Walau kadang Erika ga suka ngeliat benda kotak penuh tulisan yang disebut buku, tapi tetep aja ia mbetahin diri kalo mereka lagi ke perpus (padahal cuma ngadem di perpus, soalnya di sana ada AC-nya). Tapi, Nadine bisa berjam-jam di sana. Lain lagi kalo ke mal, walau Nadine ga suka mal, karena sifatnya yang pemalu, jadi kayaknya sih ia malu diliatin orang-orang yang bejibun yang ada di mal, tapi Kirenie betah banget. Ga cuma shopping, tapi nyambi hunting cowok gitu deh. Nah, kalo di lapangan, Erika banget tuh, tapi ga banget buat Kirenie yang takut kulitnya menghitam karena efek ultraviolet dari terik sinar matahari dapat mengancam kecantikannya. Tapi yang namanya sahabat, suka duka, canda tawa, tangis bahagia, susah mudah, harus dihadapi bersama-sama. Karena itulah, kami terus bersama-sama.
            Hari ini sedikit berbeda. Ada yang mengusik kedamaian grup ini. Ada seorang malaikat tapi juga setan masuk ke dalam kehidupan geng ini. Ya, ada cowok baru pindahan dari Jakarta, namanya Vincentio, yang biasa dipanggil Vince. Cowok yang satu ini keren banget, jago nyanyi, ma jago nari, kayak personil boysband, jago basket juga kayak Michael Jordan, cakep banget melebihi superstar, dan juga pinter, sebelas dua belas sama Albert Einstein. Sempurna banget. Jujur aja, Nadine, Kirenie, dan Jeanine langsung tergoda. Tapi, Nadine si pemalu cuma bisa memendam dalam-dalam perasaan tertariknya setelah mengetahui Vince selalu didekati banyak cewek. Jeanine harus merasakan perasaan yang sama seperti Nadine, karena Kirenie mengancamnya kalau ia berani PDKT sama Vince, maka akan diputuskan tali silahturahmi mereka. Nah, itu artinya waktunya Kirenie beraksi. Ia PDKT habis-habisan sama Vince. Kirenie selalu berusaha menjadi ‘ekor’ Vince, sehingga kedekatan mereka berdua lebih dari kedekatan gula dengan semut.
            Suatu hari ketika pelajaran olahraga…
            “Erika, semangat ya! Kamu harus menang!” teriak Jeanine dan Kirenie menyemangati Erika yang akan bertanding basket. Kemudian Kirenie melihat lawan tim Erika mulai bermunculan. Salah satunya adalah Vince.
            “VINCE!! Semangat ya! Kamu harus menang!!” teriak Kirenie spontan.
            “Loh, kamu dukung siapa sih?” tanya Nadine bingung.
            “Ya dua-duanya, donk,” respon Kirenie spontan.
            “Sssssttt… Udah, udah. Ayo nonton dulu. Nih, udah mulai main,” kata Jeanine. Erika bermain dengan semangatnya, merebut bola dari Daryl dan berusaha memasukkannya ke dalam ring basket. Tapi, tragisnya, dia terlalu fokus ke bola dan ringnya, hingga dia tidak melihat Vince di depannya, dan, ia terjatuh. Tentu saja Vince menolongnya, sebagai cowok yang gentle. Akhirnya, timbul juga perasaan di hati Erika, sepertinya hormon estrogen-nya Kirenie yang kebanyakan itu disumbangkan secara cuma-cuma kepadanya.
            Tentu saja, Kirenie yang tidak terima karena Erika ditolong oleh pangerannya langsung menjerit, “Vince! Ngapain kamu tolong dia? Sepak aja dia!” dan, Jeanine langsung ngoceh, “Eh, itu temen kita tau!” “Kalo dia ndeketi Vince, ya mana bisa dibilang temen?!” “Ati-ati yah, kalo ngomong?” dan, Nadine yang dari tadi matung langsung menengahi, “Udahlah, kalian jangan kaya gini. Apa kalian ga malu diliatin banyak anak?” “Abis dia duluan, sih!” kata Kirenie. Dan, Jeanine yang nggak terima dituduh langsung njerit, “Itu kan salahmu!” lagi-lagi, Nadine menengahi, “Udahlah…” dan Kirenie langsung motong, “Aku ga terima! Aku mau ngadain taruhan! Yang bisa dapet nilai UAS terbaik, itu yang menang dan berhak ndapetin Vince, juga aku ga bakalan musuhin kalian!” “Oke! Siapa takut!” jawab Jeanine dengan spontan. “Tapi, kalo kalah, siap-siap aja kehilangan Vince, ok?” kata Kirenie. Erika yang sudah selesai main basket langsung datang. “Ada apa ini, Friends?” “Kita udah sepakat ngadain lomba tinggi-tinggian nilai. Yang bisa dapet nilai tertinggi, itu yang menang!” jawab Kirenie dengan ketus. “Loh, kenapa?” “Jangan nanya!” jawab Jeanine dengan emosi.
            Jeanine mengajak Nadine ke kelas, dan sampai di kelas…
            “Nad, kamu mau, ga, nyontekin aku biar aku menang? Aku bayar lima ratus ribu, deh,” “Ehm, apa enggak apa-apa nantinya?” “Gapapa, daripada kita kalah taruhan?” “Umm… Oke, deh,”. Mereka tidak menyadari bahwa Erika membuntuti mereka dan menguping. “Wah, Nadine mau dapet lima ratus ribu, nih! Aku harus ngambil uangnya! Tapi kapan, yah, pembayarannya?” pikir Erika. Sesaat setelah ia berpikir demikian, Jeanine langsung berkata, “Aku bayar besok, ok? Di sini tapinya, yah?” dan, Erika langsung berencana untuk terus mengikuti mereka. Esoknya, Erika melihat Jeanine memberikan uang ratusan ribu kepada Nadine, dan Nadine memasukkannya ke tas. “Aku harus ngambil uang itu! Lumayan, bisa dibuat beli bola basket baru,” pikir Erika. Dan, semuanya berjalan lancar sesuai pikirannya. Saat istirahat, Nadine pergi ke perpus, dan kelas sedang kosong. Ia langsung mengambil uang itu dari tas Nadine.
            Karena Erika mengambil uangnya, dan Nadine baru sadar bahwa uangnya hilang, ia langsung berencana untuk tidak memberikan jawaban-jawaban yang benar dari soal-soal UAS. Dan, esoknya Erika, Nadine, Kirenie, Jeanine, dan teman-temannya menghadapi UAS hari pertama, yaitu Bahasa Inggris. “Nad, Nad,” bisik Jeanine, dan disusul oleh tolehan  Nadine. “Nomor 16,” “A,” bisik Nadine, padahal jawaban itu salah. Demikian, kecurangan mereka berdua terus berlanjut hingga UAS hari terakhir.
            Setelah selesai UAS hari terakhir, mereka melihat nilai-nilai mereka. Jeanine kaget sekali, karena nilainya banyak yang tidak tuntas, sama dengan nilai Kirenie yang banyak buruknya. Jeanine sangat marah pada Nadine yang curang dan mendapatkan nilai perfect pada 10 mata pelajaran, kecuali nilai Geografinya, tetapi tetap saja bagus. Tetapi, Jeanine tidak mengajaknya berdebat, karena ia sedang berdebat dengan Kirenie. “Haha, kamu kalah,” kata Kirenie. “Hanya satu pelajaran, kok!” cerocos Jeanine. “Aku nggak peduli, pokoknya aku mau nembak dia!” teriak Jeanine sambil berlari ke arah Vince. Kirenie yang tidak terima langsung mengikutinya, dan mereka bersamaan menembak Vince, “Mau ga, kamu jadi pacarku?” “Lho, lho, ada apa ini? Kalian nembak aku? Aku suka Brittany dari kelas 8G, kok. Aku mau nembak dia, eh, kalian malah nembak aku. Sorry yah, Girls, aku ga bisa nerima satupun dari kalian,” jawab Vince.
            Mereka langsung kembali ke tempat mereka melihat nilai sambil menangis. Erika dan Nadine langsung bertanya kepada mereka, “Lho, kenapa kalian?” “Kita… Kita ditolak… Sama Vince,” jawab Kirenie sambil tersedu. “Udahlah, Friends, ngapain kalian mikirin cowok, hah?” kata Erika. “Hiks… Kita udah tobat, kok,” kata Jeanine. “Oh iya, sorry, yah, Nad, aku yang ngambil uangmu. Ini, aku kembaliin,” kata Erika. “Ga usah, itu punyanya Jean, kok. Aku ga berhak memilikinya,” “Sorry juga, yah, aku udah ngadain taruhan ga bener ini, cuma demi seorang cowok,” kata Kirenie dengan penuh penyesalan. “Aku juga. Sorry yah, Nad, aku udah nyogok kamu,” kata Jeanine. “Aku juga, Sorry, yah, Jean, aku udah ngasih kamu jawaban-jawaban yang salah,” kata Nadine. Merekapun saling berjabat tangan. “Nah, ayo, sekarang kita jalan-jalan ke mall! Aku yang nraktir, deh,” kata Jeanine. “Tapi, jangan hunting cowok lagi loh, yah?” ledek Erika. Dan, merekapun tertawa bersama.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cabai Ajaib

  "Kamu ini cucu ga becus! Nenek 'kan udah bolak-balik bilang, jangan buang sampah sembarangan! Ngerti kamu?" teriak nenekku sambil menjewer telingaku dan sedikit mengangkatku hingga kakiku hampir tidak menapak. "I-i-i-ya, Nek," kataku terbata-bata karena jeweran nenek benar-benar mantab. "Sekarang, buang bungkus permen itu ke tong sampah!" teriak nenek lagi. "Kamu itu udah kelas berapa, kok masih harus diajari soal kebersihan?! Perlu nenek ajari lagi, hah?" tanya nenek sambil mengepalkan tangan di depan mukaku. "O-oh, nggak usah, Nek, aku udah ngerti, kok," kataku sambil sedikit merinding melihat tangan berlemak nenek yang hampir-hampir menempel di mukaku. "Ya udah, sana buang! Duh, duh, punya cucu kok goblok," katanya sambil melepaskan jewerannya dan melempar aku ke lantai. Tentu saja, aku cepat-cepat membuang bungkus permen yang dibuang entah siapa di lantai, yang sepertinya pelakunya adalah adikku, dan lari ke kamar, takut kalau-kalau aku jadi korban lagi.
          Satu jam kemudian, setelah aku mendekam sendirian, aku keluar dari kamar. Kali ini, ayahku yang gantian menganiaya aku. "Kamu ini bohong, ya, ke ayah?!" kata ayahku sambil memukuliku. "Bohong apa, Yah?" kataku bingung. "Ini!" ayahku menunjukkan kertas lembaran yang terdapat angka 12 besar di bagian atas, dan bagian namanya tertutup. "O-oh, iya, Yah, ini ulangan Kimia-ku," jawabku, lagi-lagi dengan terbata-bata, padahal aku tidak pernah merasa mendapat nilai segitu. "Kenapa kamu sembunyikan?!" gertak ayahku. Aku tak menjawab. "Anak bodoh! Pembohong! Mana jiwa laki-lakimu?! Dasar pengecut! Pake rok aja kamu itu!" katanya sambil mencubitiku. Lagi-lagi sepertinya karena adikku. Dia tahu tempat persembunyian ulangan-ulanganku yang tidak tuntas, dan mungkin dia tidak sengaja mengambil 1 helai kertas yang bertorehkan nilai yang paling buruk, meski aku merasa nilaiku tidak pernah di bawah 50, dan ditinggalkan begitu saja, sehingga ayahku tahu. Lagi-lagi, aku lari ke kamar untuk mendekam di kamarku.
          Satu jam setelah dipukuli ayahku, aku keluar dari kamar. Sekarang, gantian, ibuku, tapi disertai ayahku, yang memarahiku. "Kamu tahu, ga, sekarang jam berapa?" tanya ibuku. "Jam delapan malam, Bu," jawabku sambil ketakutan, membayangkan kalau aku lagi-lagi dianiaya. "Kenapa kamu belum mandi?!" kata ayahku. "Jadi anak yang rajin!" kata ibuku. Mereka menyeret dan melempar aku ke dalam kamar mandi. Cepat-cepat aku mandi dan gosok gigi, lalu kabur ke kamar, ingin cepat-cepat tidur dan lepas dari cobaan untuk sementara.
          Sebelum aku sampai di kamar, aku dimarahi lagi oleh nenek. Ia tidak sengaja menemukan fotoku dengan teman perempuanku, yang dikiranya pacarku. "Kamu itu, masih kecil aja udah pacaran. Kamu ga boleh pacaran! Putusin pacarmu itu! Cucu jelek aja kok punya pacar. Pacarmu buta, ya?" katanya dengan kasar padaku. Aku langsung lari ke kamar dan mengunci pintu, setelah itu, aku merenung di kasur.
          Mereka jadi seperti itu setelah aku lulus dari SD. Sebenarnya, kakakku dulu juga diperlakukan seperti ini saat dia masuk SMP. Makanya, tidak heran kalau kakakku bunuh diri saat dia seusiaku. Mereka kira kakakku meninggal karena sakit, padahal kakakku mati bunuh diri karena merasa sangat tertekan oleh tindakan mereka.Tapi aku tidak ingin mengikuti jejak kakak yang terlalu menyia-nyiakan hidup karena cobaan, meski cobaan itu sangat berat dan bertubi-tubi. Aku mengandai-andai, coba saja ada suatu alat yang bisa mengantarku ke masa lalu. Tentu saja sangat menyenangkan untuk bisa mengetahui apa yang pernah terjadi di masa lalu.
          Aku langsung tertidur setelah merenung, tetapi, aku bangun lagi saat tengah malam karena mendengar suara air yang sangat keras dari kamar mandi, dan tidur lagi beberapa menit setelah bunyi air tersebut tidak lagi kudengar.
          Esoknya, Rudolph, sobat karibku memberiku sebuah cabai saat istirahat, setelah dia mendengarkan cerita-ceritaku yang suram. Dia meyakinkanku untuk mencobanya, karena dia bilang, siapa tahu cabai itu bisa berguna. Dan, kuletakkan cabai itu di tisu, kemudian kulipat, kumasukkan ke dalam kantong dan kubawa pulang.
          Lagi-lagi aku dimarahi saat baru saja pulang sekolah. Akhirnya, aku masuk ke dalam kamar. Aku mendekam beberapa saat. Karena aku lapar dan takut keluar dari kamar, akhirnya cabai dari Rudolph aku camil  begitu saja, tanpa lauk apapun. Ternyata, cabai itu sangat pedas, hingga aku tidak sadarkan diri di atas kasur.
          Tapi, ternyata lagi, cabai itu mampu membawaku menembus waktu. Aku bisa melihat berbagai kejadian. Aku bisa melihat nenekku yang baru lahir. Imut sekali. Tapi kalau dibandingkan dengan yang sekarang, perubahannya banyak sekali. Mulai dari kerutan di wajah, hingga kepribadian. Mengerikan sekali. Tapi sebenarnya, nenek beruntung punya orang tua yang sangat sabar, yang sebenarnya kuinginkan, tapi ia sia-siakan tanpa penyesalan sedikitpun.
         Seperti menyaksikan kehidupan nenek dari kelahirannya, aku mengamati pertumbuhannya, hingga yang sudah pasti kurekam dalam ingatanku untuk selamanya hanya dengan sekali saja menyaksikannya, yaitu saat dia masih SMP. Nenekku suka jajan di jalan, dan sampahnya dibuang sembarangan di tengah jalan, hingga membuat sebuah sepeda motor dan pengendaranya terpeleset dan hampir menubruk sebuah truk. Untung saja sang sopir segera mengerem, kalau tidak, maut akan segera menjemput pengendara motor tersebut.
          Dasar nenek bandel. Saat SMA pun, dia lagi-lagi membuang sampah sembarangan di tengah jalan. Kali ini, kecelakaan terjadi sangat serius. Kendaraan-kendaraan yang bertubrukan rusak, dan para pengendara luka parah. Satu pertanyaanku: Apa nenek tidak tahu bahwa kecelakaan itu disebabkan olehnya? Berbeda sekali dengan apa yang diucapkannya padaku, lebih tepatnya dibentakkan padaku.
           Kulihat nenek berduaan dengan cowok yang sangat jelek di taman sekolahnya. Padahal, dia melarangku untuk berpacaran. Lagi-lagi tidak sesuai dengan prinsipnya yang ia tekankan padaku.
           Pada akhirnya, aku baru tahu, kalau ayahku itu adalah anak dari nenek dan pacarnya yang jelek itu. Tak kusangka, aku mewarisi darah anak haram. Maka dari itu, nenek bilang ke ayahku bahwa 'suaminya' telah meninggal sejak dulu, padahal ayahku itu tidak mempunyai ayah yang sah. Pantas saja aku tidak pernah melihat kakekku, yang baru saja kulihat tampang jeleknya, namun ayahku percaya saja terhadap apa yang dikatakan oleh ibunya, yang lebih tepatnya nenekku yang tidak bertanggung jawab.
           Aku melihat kehidupan ayahku. Ia sangat nakal di sekolah. Dia selalu mengacau di kelas. Tidak heran, dia seperti itu, wong nenekku tidak pernah mengajarkan sedikitpun hal yang baik kepadanya. Paling-paling hanya kekerasan yang pernah diajarkan oleh nenekku, bahkan sering. Nilai-nilainya pun selalu buruk. Dan, aku baru tahu bahwa ulangan kimia yang bertorehkan nilai 12 itu milik ayahku, bukan milikku. Aku jadi bingung, apa dia hanya mencobaiku, atau tidak sadar bahwa ulanganku itu miliknya. Dan, aku melihat perbuatan ayahku yang lagi-lagi bertentangan dengan apa katanya. Dia membohongi nenek soal nilai 12 itu. Dia menghapus namanya, dan menuliskan nama seseorang, yang setelah kuteliti ulang, tenyata itu namaku, Darren Sebastian Craigson, yang dia anugerahkan untukku, dan dia bilang bahwa ulangannya tertukar dengan milik orang lain. Pantas saja jadi aku yang kena marah.
           Aku jadi sedih melihat kehidupan nenek dan ayahku yang hancur, sehingga aku memilih untuk melihat kehidupan ibuku. Sama saja. Ibuku super malas. Dia tidak pernah mengerjakan tugas-tugasnya, hingga dia bolak-balik di-skors, dan akhirnya ia dikeluarkan dari sekolahnya. Itu menandakan bahwa selama ini kata-kata yang diucapkan oleh mereka bertiga hanyalah sekedar kata-kata yang diucapkan tanpa arti, dan, yang lebih penting lagi, tanpa tindakan apapun untuk membuktikannya.
           Tanpa sadar, waktu dalam dongeng  tentang mereka begitu cepat kulalui, hingga akhirnya aku melihat kakakku lahir, dan beberapa tahun kemudian giliranku, dan disusul oleh adikku.
           Kakakku sendiri ternyata sangat berandalan saat masih SD, maka dari itu, ketiga orang itu ingin kakakku berubah saat remaja, apalagi remaja adalah saat-saat yang paling rapuh dihinggapi dosa, tapi, cara yang mereka terapkan untuk mengubah hidup kakakku salah, dan malah membuat ia tidak kuat lagi dicerca dan dianiaya, sehingga ia bunuh diri.
           Dan, sampailah aku pada kejadian kemarin. Ternyata bungkus permen itu memang benar-benar milik nenek. Benar-benar kebiasaan masa muda yang buruk yang masih tetap ia bawa sampai sekarang. Sepertinya nenek, karena kepikunannya, dia jadi lupa bahwa ialah pelakunya.
           Tentang nilai dan pacaran, aku sudah tahu yang sebenarnya. Tapi, yang lebih mengagetkan, ternyata suara air yang berasal dari kamar mandi saat tengah malam itu disebabkan oleh kemalasan ibuku, yang ternyata baru mandi saat tengah malam. Semuanya tidak bisa berubah.
           Sayang sekali, cabai itu tidak bisa mengantarkan aku ke masa depan. Ketika aku melihat aku yang tanpa kesadaran tertidur di kasur, rohku serasa ditarik untuk masuk ke dalam badanku dan akhirnya kembali lagi menjadi aku yang sekarang. Tapi aku bersyukur juga, bahwa ternyata aku sekarang tahu, seperti apa kehidupan keluargaku di masa lalu, yang menimbulkan keinginan dan semangatku untuk berubah. Selama ini, kusadari bahwa aku malas seperti ibu, kadang-kadang hanya sekedar berkata-kata seperti mereka, ceroboh seperti nenek dan ayah dan suka berbohong seperti ayah, suka kekerasan seperti mereka. Kini, mata dan hatiku terbuka untuk berubah menjadi yang lebih baik, dan tidak berlaku seperti mereka. "Aku berjanji kepadamu, Diriku," kataku dalam hati sambil tersenyum dan bersiap untuk memulai hidup baru.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Emosi Bukanlah Jawabannya

“Lenna!!! Sekarang, kamu keluar dari kelas ini!!!” jerit guru Astronomiku, Pak Sam. Sungguh, aku jadi sangat marah dibuatnya. Memang, itu salahku, karena aku tadinya berdebat dengan sahabatku, Rachel, hingga labrak-labrakan dan kelas yang tadinya damai jadi sangat ramai. Tapi, menurutku, Pak Sam juga kejam. Rachel yang salah malah aku yang dihukum. Aku keluar dari kelas dangan sangat terpaksa. Rasanya seperti emosiku ini dua kali lipat! Tapi, untungnya, ketika istirahat, masih ada yang menemaniku, yaitu pacarku, Raymond, yang biasa aku panggil Emond. “Aduh, Len, kamu jangan mudah termakan emosi begitu, dong. Kamu harus lebih sabar. Tahan emosimu,” Raymond berkata demikian setelah ia selesai mendengarkan curhatku. “Tapi, Mond, si Rachel juga gitu. Masa aku dituduh ngambil bolpoinnya, padahal akupun juga nggak tahu siapa yang ngambil. Ya memang, bolpoin itu katanya berlapis emas dan berlian. Katanya juga, itu dibeli dari Swiss, mungkin aku nggak bisa ngganti, tapi ya nggak boleh nuduh sembarangan gitu, dong,” bantahku. “Makanya, sabar, dong, Len,” katanya dengan suara yang lembut dan bijaksana. Tetapi, aku dengan bodohnya malah memarahi pacarku itu. “Aduh, kalau sabar terus, aku juga nggak bisa! Aku nggak seperti kamu, kamu itu kesabaran!” amukku. “Makanya, kamu coba lebih sabar sedikit, dong! Jangan emosian!” nada Raymond meninggi. “Huh!” aku pergi meninggalkan Raymond. “Len! Len!” jeritnya sambil mengejarku. Diapun akhirnya berhenti karena dia menubruk tong sampah sehingga isinya berserakan di lantai dan dimarahi Bu Gitta. Dan, aku masuk ke kelasku, dan duduk di bangku kesayanganku hingga bel berbunyi. Aku terus mengikuti pelajaran dengan bosan dan hati yang jengkel. Tibalah waktunya aku pulang. Aku memarahi supirku karena ia menyetir terlalu pelan, dan aku ingin cepat sampai di rumahku.
            Begitu sampai di rumah, tasku kubanting dengan sekuat tenaga. Ibuku langsung menanyaiku, mengapa aku marah. “Udahlah, Mama nggak perlu tahu! Huh!” bentakku. “Kenapa, Len? Ayo cerita ke mama,” katanya dengan halus. “Huh! Mama pasti nggak bisa mbantu aku mecahin masalahku!” cerocosku. “Makanya, cerita dulu, dong,” jawabnya halus. Aku langsung berlari ke kamarku. “Lenna! Lenna!” jeritnya. Sepertinya, ibuku merasa sedih karena sikapku tadi. Ketika aku sedang menelepon Raymond untuk meminta maaf dan mengadakan janji untuk berkencan, adikku, Pablo, mengetuk pintu. Aku langsung membuka pintu sambil berkata, “Duh! Kamu itu mengganggu tahu, nggak? Sana, pergi dari kamarku!” jeritku. “Huuuhh. Iya, deh, Kak. Jahat amat, sih,” katanya. Aku langsung menutup kembali pintu kamarku itu, dan melanjutkan bertelepon dengan Raymond. Setelah aku meminta dia untuk bertemu di mall hari ini juga, aku langsung meminta ibuku mengerjakan tugas Kimiaku yang sangat banyak.
            “Ma! Ma! Kerjain tugas Kimiaku, ya? Aku mau pacaran dulu sama Emond!”  jeritku dari kamar. “Aduh. Kalau mama bisa, lho, ya?” jawab ibuku dengan terpaksa. “Ya harus bisa, dong, Ma! Dah-dah, Ma!” teriakku tanpa sopan dan langsung menyuruh supirku mengantarku ke mall. Ketika aku sampai di sana, aku mencari Raymond kemana-mana, dan timbullah rasa jengkel dalam hatiku. Setelah beberapa menit, akhirnya dia datang juga. “Maaf terlambat, Len,” katanya dengan tulus. Tiba-tiba, rasa jengkelku itu hilang dan aku berkata, “Ya, Mond. Ayo, sekarang kita jalan-jalan!” dengan senangnya. Tapi, tak dinyana, dan tragisnya, aku salah bicara dan Raymond marah kepadaku, dan aku juga ikut marah, akhirnya, kami bertengkar lagi, diambang putus, untungnya belum.
            Aku pulang dengan jengkel. Lagi-lagi, aku memarahi supirku. Begitu sampai di rumah, ketika ibuku berkata bahwa tugas Kimiaku itu terlalu susah dan beliau tidak bisa mengerjakannya, emosiku menjadi dua kali lipat. Aku segera masuk ke dalam kamar dan berusaha menenangkan diri. Tapi, Pablo tiba-tiba mengambil HP-ku dan membaca SMSku dengan Raymond. Tiba-tiba, aku dengar HP-ku itu berbunyi dengan kerasnya, tanda ada pesan masuk. “Kak, SMS dari Emond, nih. Katanya…” aku memotong perkataannya. “Jangan baca-baca sembarangan! Sana, jangan ganggu aku!” bentakku. “Huh, iya, deh, Kak. Galak amat, sih,” katanya. “Huh!” desahku dengan geram. Setelah membaca pesan dari Raymond tersebut, aku semakin geram. Emosiku serasa sudah tingkat terakhir. Aku membentak siapa saja yang ada di rumahku. Tentu saja Pablo dan ibuku jadi sasaran empukku. Aku memaksa mereka untuk pergi jalan-jalan, karena aku sedang tidak mau diganggu. Serta, pembantuku kupaksa menonton TV. Tentu saja alasannya sama. Rumah jadi serasa sepi. Juga, emosiku mereda. Aku diam-diam masuk ke dalam kamar ibuku, membaca diary-nya yang baru ditulisnya. “Hari ini, Lenna marah-marah, entah mengapa. Mungkin dia punya banyak masalah di sekolah. Atau dia sedang bermasalah dengan Emond. Atau karena aku tidak mampu mengerjakan tugas Kimianya karena memang susah. Aku jadi sedih, tidak dapat membuatnya menjadi bahagia. Aku ingin meminta maaf padanya, jika waktunya sudah tepat,” tulisnya.
            Aku menangis sendiri di dalam kamar ibuku, dan, tiba-tiba, ibuku datang. “Lenna? Ngapain kamu? Lho, diary-ku kok? Kamu baca, ya?” katanya. “Iya, Ma. Maaf, Ma. Aku durhaka, ya, sudah marahin Mama?” tanyaku sambil menangis. “Aduh, Lenna. Nggak, kok. Justru mama yang merasa bersalah, nggak bisa membuatmu bahagia,” jawabnya dengan sabar. “Mama, boleh minta waktunya sebentar, nggak, Ma? Aku mau curhat,” pintaku. “Oh, tentu saja,” jawabnya. “Len, kamu harus minta maaf ke mereka. Kamu harus lebih sabar. Kontrol emosimu. Jaga ucapanmu juga. Jangan memancing emosi orang, karena mulutmu harimaumu,” jawabnya ketika aku selesai mencurahkan isi hatiku. “Mama, aku kan juga nggak sabaran?” kataku. “Maka dari itu, jangan mudah emosi. Betul apa kata Emond. Emosi bukanlah jawabannya,” katanya dengan bijak. Akupun memutuskan untuk meminta maaf, pertama-tama kepada Rachel, kedua kepada Raymond, dan ketiga, siapapun yang aku bentak. Setelah mereka semua memaafkanku, aku merasa sangat lega. Melayang rasanya. Aku makin akrab dengan Rachel, makin dekat dengan Raymond, dan juga orang-orang lainnya, terutama Pablo dan ibu. Ternyata, benar apa kata ibuku dan Raymond, emosi bukanlah jawabannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kejujuran itu Harus Dipegang


            “10 menit lagi!!” Teriak Bu Flora.
          Seketika itu juga, keringatku mulai bercucuran deras membasahi kerah baju putihku. Tinggal 10 menit dan masih ada 3 soal yang sulit dengan bejibun rumus menghadangku. Dag dig dug rasanya jantung ini. Fisika selalu saja membuatku seperti orang yang akan dieksekusi di kursi listrik. Aku sudah tidak tahu lagi mau berbuat apa.
          “Napa, Bel? Kesulitan ya? Aku bantuin, nih liat kertas jawabanku aja.” Ujar Hylda tiba-tiba.
          Sebetulnya tawaran Hylda ini adalah kesempatan emasku untuk membalikkan keadaan selayaknya, seperti malaikat yang dikirim oleh Tuhan dari nirwana. Kalau dengan ini setidaknya nilaiku bisa terkatrol menjauhi standard tuntas. Apalagi yang menawariku contekan adalah anak dengan otak terencer di kelas 7. Soal sesulit apapun, rumus serumit apapun dan sebanyak apapun seolah hanya semudah membalikkan tangan baginya. Sejenak kulihat tingkah teman-temanku yang lain, Derry dengan jelasnya mengintip kertas jawaban Alvino. Dalam benakku, “tunggu apalagi Bella, ini adalah kesempatan emas!”. Sedikit kuarahkan bola mataku ke arah kertas ulangan Hylda. Sembari mengusap keringat tiba-tiba aku teringat kata-kata kakakku.
          “Ga deh, trims.” Kataku dengan tegas setelahnya.
          Aku mulai kembali memegang penaku. Kuhela nafas panjang dan kutenangkan otakku sejenak. Kemudian kumulai kembali menghajar soal-soal yang sebenarnya tidak mudah bagiku.
          “Waktu habis! Silahkan dikumpulkan!” Kembali Bu Flora berteriak.
          Walaupun mungkin hasilnya tidak akan maksimum, tapi aku berhasil menyelesaikan seluruh soal. Aku berharap hasil banting tulangku selama semalaman sekaligus selama 45 menit mengerjakan tadi tidak sia-sia dan dapat menyentuh angka tuntas.
          Seminggu kemudian, Bu Flora yang terkenal amat sangat cepat dalam memeriksa ulangan mulai membagikan ulangan. Hylda lagi-lagi menjadi pemecah rekor penoreh angka 100. Percaya atau tidak, Derry yang pupuk bawang di pelajaran fisika meraih angka 92 seperti angka Alvino yang memang cerdas. Tapi, tentu saja itu adalah hasil contekan. Kemudian beliau memanggil namaku. Dengan gugup aku maju dan mengambil kertas ulanganku. Tertoreh angka 89 di pojok kertas. Rasanya hatiku senang dan lega sekali, karena hasilnya lebih baik dari yang kuduga. Yang lebih membuatku senang, angka itu bukan cuma sekedar nilai ulangan fisika semata, tapi di dalamnya terkandung nilai perjuangan penuh keringat dan kejujuran. Itulah yang membuatku bangga dengan diriku sendiri. Aku bukan yang terbaik, tapi setidaknya aku mendapatkannya sendiri.
          “Yes, aku menang dari kamu Bella! Wek!” kata Derry kepadaku setelah ia melihat kertas ulanganku.
          “ Tapi aku senang kok, soalnya hasil kerja kerasku sendiri! Wek!” Ujarku dengan bangga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS