"Kamu ini cucu ga becus! Nenek 'kan udah bolak-balik bilang, jangan buang sampah sembarangan! Ngerti kamu?" teriak nenekku sambil menjewer telingaku dan sedikit mengangkatku hingga kakiku hampir tidak menapak. "I-i-i-ya, Nek," kataku terbata-bata karena jeweran nenek benar-benar mantab. "Sekarang, buang bungkus permen itu ke tong sampah!" teriak nenek lagi. "Kamu itu udah kelas berapa, kok masih harus diajari soal kebersihan?! Perlu nenek ajari lagi, hah?" tanya nenek sambil mengepalkan tangan di depan mukaku. "O-oh, nggak usah, Nek, aku udah ngerti, kok," kataku sambil sedikit merinding melihat tangan berlemak nenek yang hampir-hampir menempel di mukaku. "Ya udah, sana buang! Duh, duh, punya cucu kok goblok," katanya sambil melepaskan jewerannya dan melempar aku ke lantai. Tentu saja, aku cepat-cepat membuang bungkus permen yang dibuang entah siapa di lantai, yang sepertinya pelakunya adalah adikku, dan lari ke kamar, takut kalau-kalau aku jadi korban lagi.
Satu jam kemudian, setelah aku mendekam sendirian, aku keluar dari kamar. Kali ini, ayahku yang gantian menganiaya aku. "Kamu ini bohong, ya, ke ayah?!" kata ayahku sambil memukuliku. "Bohong apa, Yah?" kataku bingung. "Ini!" ayahku menunjukkan kertas lembaran yang terdapat angka 12 besar di bagian atas, dan bagian namanya tertutup. "O-oh, iya, Yah, ini ulangan Kimia-ku," jawabku, lagi-lagi dengan terbata-bata, padahal aku tidak pernah merasa mendapat nilai segitu. "Kenapa kamu sembunyikan?!" gertak ayahku. Aku tak menjawab. "Anak bodoh! Pembohong! Mana jiwa laki-lakimu?! Dasar pengecut! Pake rok aja kamu itu!" katanya sambil mencubitiku. Lagi-lagi sepertinya karena adikku. Dia tahu tempat persembunyian ulangan-ulanganku yang tidak tuntas, dan mungkin dia tidak sengaja mengambil 1 helai kertas yang bertorehkan nilai yang paling buruk, meski aku merasa nilaiku tidak pernah di bawah 50, dan ditinggalkan begitu saja, sehingga ayahku tahu. Lagi-lagi, aku lari ke kamar untuk mendekam di kamarku.
Satu jam setelah dipukuli ayahku, aku keluar dari kamar. Sekarang, gantian, ibuku, tapi disertai ayahku, yang memarahiku. "Kamu tahu, ga, sekarang jam berapa?" tanya ibuku. "Jam delapan malam, Bu," jawabku sambil ketakutan, membayangkan kalau aku lagi-lagi dianiaya. "Kenapa kamu belum mandi?!" kata ayahku. "Jadi anak yang rajin!" kata ibuku. Mereka menyeret dan melempar aku ke dalam kamar mandi. Cepat-cepat aku mandi dan gosok gigi, lalu kabur ke kamar, ingin cepat-cepat tidur dan lepas dari cobaan untuk sementara.
Sebelum aku sampai di kamar, aku dimarahi lagi oleh nenek. Ia tidak sengaja menemukan fotoku dengan teman perempuanku, yang dikiranya pacarku. "Kamu itu, masih kecil aja udah pacaran. Kamu ga boleh pacaran! Putusin pacarmu itu! Cucu jelek aja kok punya pacar. Pacarmu buta, ya?" katanya dengan kasar padaku. Aku langsung lari ke kamar dan mengunci pintu, setelah itu, aku merenung di kasur.
Mereka jadi seperti itu setelah aku lulus dari SD. Sebenarnya, kakakku dulu juga diperlakukan seperti ini saat dia masuk SMP. Makanya, tidak heran kalau kakakku bunuh diri saat dia seusiaku. Mereka kira kakakku meninggal karena sakit, padahal kakakku mati bunuh diri karena merasa sangat tertekan oleh tindakan mereka.Tapi aku tidak ingin mengikuti jejak kakak yang terlalu menyia-nyiakan hidup karena cobaan, meski cobaan itu sangat berat dan bertubi-tubi. Aku mengandai-andai, coba saja ada suatu alat yang bisa mengantarku ke masa lalu. Tentu saja sangat menyenangkan untuk bisa mengetahui apa yang pernah terjadi di masa lalu.
Aku langsung tertidur setelah merenung, tetapi, aku bangun lagi saat tengah malam karena mendengar suara air yang sangat keras dari kamar mandi, dan tidur lagi beberapa menit setelah bunyi air tersebut tidak lagi kudengar.
Esoknya, Rudolph, sobat karibku memberiku sebuah cabai saat istirahat, setelah dia mendengarkan cerita-ceritaku yang suram. Dia meyakinkanku untuk mencobanya, karena dia bilang, siapa tahu cabai itu bisa berguna. Dan, kuletakkan cabai itu di tisu, kemudian kulipat, kumasukkan ke dalam kantong dan kubawa pulang.
Lagi-lagi aku dimarahi saat baru saja pulang sekolah. Akhirnya, aku masuk ke dalam kamar. Aku mendekam beberapa saat. Karena aku lapar dan takut keluar dari kamar, akhirnya cabai dari Rudolph aku camil begitu saja, tanpa lauk apapun. Ternyata, cabai itu sangat pedas, hingga aku tidak sadarkan diri di atas kasur.
Tapi, ternyata lagi, cabai itu mampu membawaku menembus waktu. Aku bisa melihat berbagai kejadian. Aku bisa melihat nenekku yang baru lahir. Imut sekali. Tapi kalau dibandingkan dengan yang sekarang, perubahannya banyak sekali. Mulai dari kerutan di wajah, hingga kepribadian. Mengerikan sekali. Tapi sebenarnya, nenek beruntung punya orang tua yang sangat sabar, yang sebenarnya kuinginkan, tapi ia sia-siakan tanpa penyesalan sedikitpun.
Seperti menyaksikan kehidupan nenek dari kelahirannya, aku mengamati pertumbuhannya, hingga yang sudah pasti kurekam dalam ingatanku untuk selamanya hanya dengan sekali saja menyaksikannya, yaitu saat dia masih SMP. Nenekku suka jajan di jalan, dan sampahnya dibuang sembarangan di tengah jalan, hingga membuat sebuah sepeda motor dan pengendaranya terpeleset dan hampir menubruk sebuah truk. Untung saja sang sopir segera mengerem, kalau tidak, maut akan segera menjemput pengendara motor tersebut.
Dasar nenek bandel. Saat SMA pun, dia lagi-lagi membuang sampah sembarangan di tengah jalan. Kali ini, kecelakaan terjadi sangat serius. Kendaraan-kendaraan yang bertubrukan rusak, dan para pengendara luka parah. Satu pertanyaanku: Apa nenek tidak tahu bahwa kecelakaan itu disebabkan olehnya? Berbeda sekali dengan apa yang diucapkannya padaku, lebih tepatnya dibentakkan padaku.
Kulihat nenek berduaan dengan cowok yang sangat jelek di taman sekolahnya. Padahal, dia melarangku untuk berpacaran. Lagi-lagi tidak sesuai dengan prinsipnya yang ia tekankan padaku.
Pada akhirnya, aku baru tahu, kalau ayahku itu adalah anak dari nenek dan pacarnya yang jelek itu. Tak kusangka, aku mewarisi darah anak haram. Maka dari itu, nenek bilang ke ayahku bahwa 'suaminya' telah meninggal sejak dulu, padahal ayahku itu tidak mempunyai ayah yang sah. Pantas saja aku tidak pernah melihat kakekku, yang baru saja kulihat tampang jeleknya, namun ayahku percaya saja terhadap apa yang dikatakan oleh ibunya, yang lebih tepatnya nenekku yang tidak bertanggung jawab.
Aku melihat kehidupan ayahku. Ia sangat nakal di sekolah. Dia selalu mengacau di kelas. Tidak heran, dia seperti itu, wong nenekku tidak pernah mengajarkan sedikitpun hal yang baik kepadanya. Paling-paling hanya kekerasan yang pernah diajarkan oleh nenekku, bahkan sering. Nilai-nilainya pun selalu buruk. Dan, aku baru tahu bahwa ulangan kimia yang bertorehkan nilai 12 itu milik ayahku, bukan milikku. Aku jadi bingung, apa dia hanya mencobaiku, atau tidak sadar bahwa ulanganku itu miliknya. Dan, aku melihat perbuatan ayahku yang lagi-lagi bertentangan dengan apa katanya. Dia membohongi nenek soal nilai 12 itu. Dia menghapus namanya, dan menuliskan nama seseorang, yang setelah kuteliti ulang, tenyata itu namaku, Darren Sebastian Craigson, yang dia anugerahkan untukku, dan dia bilang bahwa ulangannya tertukar dengan milik orang lain. Pantas saja jadi aku yang kena marah.
Aku jadi sedih melihat kehidupan nenek dan ayahku yang hancur, sehingga aku memilih untuk melihat kehidupan ibuku. Sama saja. Ibuku super malas. Dia tidak pernah mengerjakan tugas-tugasnya, hingga dia bolak-balik di-skors, dan akhirnya ia dikeluarkan dari sekolahnya. Itu menandakan bahwa selama ini kata-kata yang diucapkan oleh mereka bertiga hanyalah sekedar kata-kata yang diucapkan tanpa arti, dan, yang lebih penting lagi, tanpa tindakan apapun untuk membuktikannya.
Tanpa sadar, waktu dalam dongeng tentang mereka begitu cepat kulalui, hingga akhirnya aku melihat kakakku lahir, dan beberapa tahun kemudian giliranku, dan disusul oleh adikku.
Kakakku sendiri ternyata sangat berandalan saat masih SD, maka dari itu, ketiga orang itu ingin kakakku berubah saat remaja, apalagi remaja adalah saat-saat yang paling rapuh dihinggapi dosa, tapi, cara yang mereka terapkan untuk mengubah hidup kakakku salah, dan malah membuat ia tidak kuat lagi dicerca dan dianiaya, sehingga ia bunuh diri.
Dan, sampailah aku pada kejadian kemarin. Ternyata bungkus permen itu memang benar-benar milik nenek. Benar-benar kebiasaan masa muda yang buruk yang masih tetap ia bawa sampai sekarang. Sepertinya nenek, karena kepikunannya, dia jadi lupa bahwa ialah pelakunya.
Tentang nilai dan pacaran, aku sudah tahu yang sebenarnya. Tapi, yang lebih mengagetkan, ternyata suara air yang berasal dari kamar mandi saat tengah malam itu disebabkan oleh kemalasan ibuku, yang ternyata baru mandi saat tengah malam. Semuanya tidak bisa berubah.
Sayang sekali, cabai itu tidak bisa mengantarkan aku ke masa depan. Ketika aku melihat aku yang tanpa kesadaran tertidur di kasur, rohku serasa ditarik untuk masuk ke dalam badanku dan akhirnya kembali lagi menjadi aku yang sekarang. Tapi aku bersyukur juga, bahwa ternyata aku sekarang tahu, seperti apa kehidupan keluargaku di masa lalu, yang menimbulkan keinginan dan semangatku untuk berubah. Selama ini, kusadari bahwa aku malas seperti ibu, kadang-kadang hanya sekedar berkata-kata seperti mereka, ceroboh seperti nenek dan ayah dan suka berbohong seperti ayah, suka kekerasan seperti mereka. Kini, mata dan hatiku terbuka untuk berubah menjadi yang lebih baik, dan tidak berlaku seperti mereka. "Aku berjanji kepadamu, Diriku," kataku dalam hati sambil tersenyum dan bersiap untuk memulai hidup baru.
Cabai Ajaib
07.15 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar