“Lenna!!! Sekarang, kamu keluar dari kelas ini!!!” jerit guru Astronomiku, Pak Sam. Sungguh, aku jadi sangat marah dibuatnya. Memang, itu salahku, karena aku tadinya berdebat dengan sahabatku, Rachel, hingga labrak-labrakan dan kelas yang tadinya damai jadi sangat ramai. Tapi, menurutku, Pak Sam juga kejam. Rachel yang salah malah aku yang dihukum. Aku keluar dari kelas dangan sangat terpaksa. Rasanya seperti emosiku ini dua kali lipat! Tapi, untungnya, ketika istirahat, masih ada yang menemaniku, yaitu pacarku, Raymond, yang biasa aku panggil Emond. “Aduh, Len, kamu jangan mudah termakan emosi begitu, dong. Kamu harus lebih sabar. Tahan emosimu,” Raymond berkata demikian setelah ia selesai mendengarkan curhatku. “Tapi, Mond, si Rachel juga gitu. Masa aku dituduh ngambil bolpoinnya, padahal akupun juga nggak tahu siapa yang ngambil. Ya memang, bolpoin itu katanya berlapis emas dan berlian. Katanya juga, itu dibeli dari Swiss, mungkin aku nggak bisa ngganti, tapi ya nggak boleh nuduh sembarangan gitu, dong,” bantahku. “Makanya, sabar, dong, Len,” katanya dengan suara yang lembut dan bijaksana. Tetapi, aku dengan bodohnya malah memarahi pacarku itu. “Aduh, kalau sabar terus, aku juga nggak bisa! Aku nggak seperti kamu, kamu itu kesabaran!” amukku. “Makanya, kamu coba lebih sabar sedikit, dong! Jangan emosian!” nada Raymond meninggi. “Huh!” aku pergi meninggalkan Raymond. “Len! Len!” jeritnya sambil mengejarku. Diapun akhirnya berhenti karena dia menubruk tong sampah sehingga isinya berserakan di lantai dan dimarahi Bu Gitta. Dan, aku masuk ke kelasku, dan duduk di bangku kesayanganku hingga bel berbunyi. Aku terus mengikuti pelajaran dengan bosan dan hati yang jengkel. Tibalah waktunya aku pulang. Aku memarahi supirku karena ia menyetir terlalu pelan, dan aku ingin cepat sampai di rumahku.
Begitu sampai di rumah, tasku kubanting dengan sekuat tenaga. Ibuku langsung menanyaiku, mengapa aku marah. “Udahlah, Mama nggak perlu tahu! Huh!” bentakku. “Kenapa, Len? Ayo cerita ke mama,” katanya dengan halus. “Huh! Mama pasti nggak bisa mbantu aku mecahin masalahku!” cerocosku. “Makanya, cerita dulu, dong,” jawabnya halus. Aku langsung berlari ke kamarku. “Lenna! Lenna!” jeritnya. Sepertinya, ibuku merasa sedih karena sikapku tadi. Ketika aku sedang menelepon Raymond untuk meminta maaf dan mengadakan janji untuk berkencan, adikku, Pablo, mengetuk pintu. Aku langsung membuka pintu sambil berkata, “Duh! Kamu itu mengganggu tahu, nggak? Sana, pergi dari kamarku!” jeritku. “Huuuhh. Iya, deh, Kak. Jahat amat, sih,” katanya. Aku langsung menutup kembali pintu kamarku itu, dan melanjutkan bertelepon dengan Raymond. Setelah aku meminta dia untuk bertemu di mall hari ini juga, aku langsung meminta ibuku mengerjakan tugas Kimiaku yang sangat banyak.
“Ma! Ma! Kerjain tugas Kimiaku, ya? Aku mau pacaran dulu sama Emond!” jeritku dari kamar. “Aduh. Kalau mama bisa, lho, ya?” jawab ibuku dengan terpaksa. “Ya harus bisa, dong, Ma! Dah-dah, Ma!” teriakku tanpa sopan dan langsung menyuruh supirku mengantarku ke mall. Ketika aku sampai di sana, aku mencari Raymond kemana-mana, dan timbullah rasa jengkel dalam hatiku. Setelah beberapa menit, akhirnya dia datang juga. “Maaf terlambat, Len,” katanya dengan tulus. Tiba-tiba, rasa jengkelku itu hilang dan aku berkata, “Ya, Mond. Ayo, sekarang kita jalan-jalan!” dengan senangnya. Tapi, tak dinyana, dan tragisnya, aku salah bicara dan Raymond marah kepadaku, dan aku juga ikut marah, akhirnya, kami bertengkar lagi, diambang putus, untungnya belum.
Aku pulang dengan jengkel. Lagi-lagi, aku memarahi supirku. Begitu sampai di rumah, ketika ibuku berkata bahwa tugas Kimiaku itu terlalu susah dan beliau tidak bisa mengerjakannya, emosiku menjadi dua kali lipat. Aku segera masuk ke dalam kamar dan berusaha menenangkan diri. Tapi, Pablo tiba-tiba mengambil HP-ku dan membaca SMSku dengan Raymond. Tiba-tiba, aku dengar HP-ku itu berbunyi dengan kerasnya, tanda ada pesan masuk. “Kak, SMS dari Emond, nih. Katanya…” aku memotong perkataannya. “Jangan baca-baca sembarangan! Sana, jangan ganggu aku!” bentakku. “Huh, iya, deh, Kak. Galak amat, sih,” katanya. “Huh!” desahku dengan geram. Setelah membaca pesan dari Raymond tersebut, aku semakin geram. Emosiku serasa sudah tingkat terakhir. Aku membentak siapa saja yang ada di rumahku. Tentu saja Pablo dan ibuku jadi sasaran empukku. Aku memaksa mereka untuk pergi jalan-jalan, karena aku sedang tidak mau diganggu. Serta, pembantuku kupaksa menonton TV. Tentu saja alasannya sama. Rumah jadi serasa sepi. Juga, emosiku mereda. Aku diam-diam masuk ke dalam kamar ibuku, membaca diary-nya yang baru ditulisnya. “Hari ini, Lenna marah-marah, entah mengapa. Mungkin dia punya banyak masalah di sekolah. Atau dia sedang bermasalah dengan Emond. Atau karena aku tidak mampu mengerjakan tugas Kimianya karena memang susah. Aku jadi sedih, tidak dapat membuatnya menjadi bahagia. Aku ingin meminta maaf padanya, jika waktunya sudah tepat,” tulisnya.
Aku menangis sendiri di dalam kamar ibuku, dan, tiba-tiba, ibuku datang. “Lenna? Ngapain kamu? Lho, diary-ku kok? Kamu baca, ya?” katanya. “Iya, Ma. Maaf, Ma. Aku durhaka, ya, sudah marahin Mama?” tanyaku sambil menangis. “Aduh, Lenna. Nggak, kok. Justru mama yang merasa bersalah, nggak bisa membuatmu bahagia,” jawabnya dengan sabar. “Mama, boleh minta waktunya sebentar, nggak, Ma? Aku mau curhat,” pintaku. “Oh, tentu saja,” jawabnya. “Len, kamu harus minta maaf ke mereka. Kamu harus lebih sabar. Kontrol emosimu. Jaga ucapanmu juga. Jangan memancing emosi orang, karena mulutmu harimaumu,” jawabnya ketika aku selesai mencurahkan isi hatiku. “Mama, aku kan juga nggak sabaran?” kataku. “Maka dari itu, jangan mudah emosi. Betul apa kata Emond. Emosi bukanlah jawabannya,” katanya dengan bijak. Akupun memutuskan untuk meminta maaf, pertama-tama kepada Rachel, kedua kepada Raymond, dan ketiga, siapapun yang aku bentak. Setelah mereka semua memaafkanku, aku merasa sangat lega. Melayang rasanya. Aku makin akrab dengan Rachel, makin dekat dengan Raymond, dan juga orang-orang lainnya, terutama Pablo dan ibu. Ternyata, benar apa kata ibuku dan Raymond, emosi bukanlah jawabannya.
Emosi Bukanlah Jawabannya
07.10 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar