Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kejujuran itu Harus Dipegang


            “10 menit lagi!!” Teriak Bu Flora.
          Seketika itu juga, keringatku mulai bercucuran deras membasahi kerah baju putihku. Tinggal 10 menit dan masih ada 3 soal yang sulit dengan bejibun rumus menghadangku. Dag dig dug rasanya jantung ini. Fisika selalu saja membuatku seperti orang yang akan dieksekusi di kursi listrik. Aku sudah tidak tahu lagi mau berbuat apa.
          “Napa, Bel? Kesulitan ya? Aku bantuin, nih liat kertas jawabanku aja.” Ujar Hylda tiba-tiba.
          Sebetulnya tawaran Hylda ini adalah kesempatan emasku untuk membalikkan keadaan selayaknya, seperti malaikat yang dikirim oleh Tuhan dari nirwana. Kalau dengan ini setidaknya nilaiku bisa terkatrol menjauhi standard tuntas. Apalagi yang menawariku contekan adalah anak dengan otak terencer di kelas 7. Soal sesulit apapun, rumus serumit apapun dan sebanyak apapun seolah hanya semudah membalikkan tangan baginya. Sejenak kulihat tingkah teman-temanku yang lain, Derry dengan jelasnya mengintip kertas jawaban Alvino. Dalam benakku, “tunggu apalagi Bella, ini adalah kesempatan emas!”. Sedikit kuarahkan bola mataku ke arah kertas ulangan Hylda. Sembari mengusap keringat tiba-tiba aku teringat kata-kata kakakku.
          “Ga deh, trims.” Kataku dengan tegas setelahnya.
          Aku mulai kembali memegang penaku. Kuhela nafas panjang dan kutenangkan otakku sejenak. Kemudian kumulai kembali menghajar soal-soal yang sebenarnya tidak mudah bagiku.
          “Waktu habis! Silahkan dikumpulkan!” Kembali Bu Flora berteriak.
          Walaupun mungkin hasilnya tidak akan maksimum, tapi aku berhasil menyelesaikan seluruh soal. Aku berharap hasil banting tulangku selama semalaman sekaligus selama 45 menit mengerjakan tadi tidak sia-sia dan dapat menyentuh angka tuntas.
          Seminggu kemudian, Bu Flora yang terkenal amat sangat cepat dalam memeriksa ulangan mulai membagikan ulangan. Hylda lagi-lagi menjadi pemecah rekor penoreh angka 100. Percaya atau tidak, Derry yang pupuk bawang di pelajaran fisika meraih angka 92 seperti angka Alvino yang memang cerdas. Tapi, tentu saja itu adalah hasil contekan. Kemudian beliau memanggil namaku. Dengan gugup aku maju dan mengambil kertas ulanganku. Tertoreh angka 89 di pojok kertas. Rasanya hatiku senang dan lega sekali, karena hasilnya lebih baik dari yang kuduga. Yang lebih membuatku senang, angka itu bukan cuma sekedar nilai ulangan fisika semata, tapi di dalamnya terkandung nilai perjuangan penuh keringat dan kejujuran. Itulah yang membuatku bangga dengan diriku sendiri. Aku bukan yang terbaik, tapi setidaknya aku mendapatkannya sendiri.
          “Yes, aku menang dari kamu Bella! Wek!” kata Derry kepadaku setelah ia melihat kertas ulanganku.
          “ Tapi aku senang kok, soalnya hasil kerja kerasku sendiri! Wek!” Ujarku dengan bangga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar